Iklan

terkini

Masahil Fiqih - Sekularime,Plurarime dan Liberarisme, Inseminasi Buatan, dan Kloning Manusia

Rabu, 22 Desember 2021, Desember 22, 2021 WIB Last Updated 2021-12-22T14:30:01Z


Hallo sahabat RGI, mungkin sebagian dari anda adalah seorang mahasiswa di jurusan Tasawuf dan Psikoterapi, dengan demikian pasti anda sudah tidak asing dengan pembahsan di bawah. 

Masahil Fiqih - Sekularime,Plurarime dan Liberarisme, Inseminasi Buatan, dan Kloning Manusia

Nah di sini, Admin ingin sedikit membagikan sebuah tugas yang mungkin juga sedang anda kerjakan saat ini.


 TUGAS MASAHIL FIQH

SEKULARIME,PLURARIME DAN LIBERARISME, INSEMINASI BUATAN, DAN KLONING MANUSIA


Disusun oleh:

Tasawuf Psikoterapi/III/A



Tema 1: SEKULARISME, PLURARISEM, DAN LIBERARISME DALAM TUBUH ISLAM DI INDONESIA


Saat ini wacana mengenai sekularisme, plurarisme dan liberarisme agama masih menjadi isu yang dipertentangkan dimasyarakat. Dan perbedaan pendapat masalah ini diperkut oleh fatwa MUI (Majelis Ulam Indonesia) yang mengharamkan Sekularime, Liberarisme, dan Plurarisme agama.  Dengan alasan bahwa,

1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.  

2. Liberalisme agama adalah memahami nas-nas agama (Alquran dan Sunah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.

3. Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur berdasarkan kesepakatan sosial. 

Berbagai reaksi kemudian muncul setelah ditetapkannya fatwa haram dalam Musyawarah nasionalnya yang ke-7, pada 25-29 Juli 2005 di Jakarta ini. Reaksi dukungan dan penolakan terhadap fatwa MUI datang dari beberapa ormas Islam, di antaranya adalah NU dan Muhammadiyah. Dalam keputusan muktamar Muhammadiyah ke-46 dinyatakan bahwa Muhammadiyah menolak paham pluralisme yang mengarah kepada sinkretisme, dan relativisme sebagaimana dalam fatwa MUI.


Golongan Pro terhadap Sekularime, Liberarisme, dan Plurarisme

Menurutnya definisi yang dicantumkan oleh MUI dalam pandangan Dawam Rahardjo tampak rancu. Seolah berdasarkan realitas empiris, namun mengacu pada wacana filsafat Islam. Dicontohkan olehnya soal liberalisme yang didefinisikan sebagai pemahaman mengenai teks-teks sakral agama dengan menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. Jika benar demikian, maka definisi tersebut sebenarnya lebih merupakan paham rasionalisme yang memang ada dalam filsafat Islam seperti yang dikembangkan oleh aliran Mu‘tazilah, atau Ibn Rusyd, dan Shi‘ah.

Penolakan terhadap fatwa MUI juga datang dari kalangan intelektual muslim seperti Azyumardi Azra yang berpendapat bahwa MUI tidak dapat melarang umat Islam dari kebebasan berpikir karena pluralisme, liberalisme dan sekularisme bukanlah ideologi, melainkan cara berpikir. Fatwa MUI menentang kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia secara umum. Abd. Moqsith Ghazali berpendapat bahwa fatwa tersebut mengidap sejumlah masalah teologis dan sosial yang tidak ringan. Pertama, pengharaman ini bertentangan dengan norma-norma ajaran Alquran yang justru mendorong tersemainya pluralisme agama. Kedua, pengharaman pluralisme agama tersebut menentang realitas keragaman yang meliputi pelbagai ruang kehidupan, termasuk dalam kehidupan keberagamaan. Tidak saja dalam ruang lingkup keluarga besar seperti masyarakat negara, bahkan dalam lingkup keluarga, setiap orang senantiasa berada dalam kemajemukan. Ketiga, fatwa pengharaman itu menunjukkan sikap dan watak para perumusnya yang tidak toleran, cenderung eksklusif, dan memandang umat agama lain dalam kegelapan dan kesesatan. Keempat, pengharaman atas pluralisme agama menunjukkan perihal ketidakjelasan konsep dan apa yang dimaksudkan dengan pluralisme agama oleh MUI.

Kebebasan berpikir dalam Islam, menurut Ali Yafie, berbeda dengan peradaban Barat. Apabila kebebasan berpikir yang lahir di Barat hasil dari pengalaman sejarah akibat kungkungan kekuasaan gereja yang mempunyai pengadilan inkuisi pada abad pertengahan, sedangkan dalam dunia Islam kebebasan berpikir berpangkal pada inti ajaran Islam sendiri. Akal diberikan kedudukan penting dalam ajaran Islam sebagai sumber daya pengendali kehidupan dan basis kemaslahatan manusia, sementara Alquran dan Sunah membimbing dan mengarahkan manusia ketika menggunakan akal untuk melakukan pengamatan, penelitian, dan perbandingan atas segala kejadian yang terjadi di bumi, langit, maupun di dalam kehidupan manusia.

Liberalisme dalam konteks ekonomi merupakan doktrin yang menekankan pada kebebasan individu, pembatasan intervensi negara, jenjang tahapan proses-proses sosial, dan ekonomi pasar bebas. Dalam perkembangannya, liberalisme juga menerima gagasan-gagasan peran negara dalam menyejahterakan masyarakat, dan mendorong kebijakan ekonomi-ekonomi yang berbasis sosial seraya tetap menjunjung asas kebebasan individu serta membuka peluang bagi sektor swasta. Dalam konteks politik, liberalisme adalah ideologi yang menegaskan bahwa individu bisa menikmati sejumlah hak dan wilayah privat dari campur tangan pemerintah. Karakteristik utamanya adanya pemisahan antara sektor publik dan privat.

Pada ranah keagamaan, liberalisme adalah bentuk pemahaman dalam beragama yang mengusung serta memperkenankan kebebasan berpikir dalam mengintepretasikan sumber-sumber doktrin, etika, atau ajaran agama. Sarah Stroumsa mengartikan liberalisme sebagai pemikiran bebas, merujuk pada apa yang diistilahkan oleh al-Shahrastani sebagai al-istibdad bi al-ra’yi, adalah ciri orang-orang yang secara eksklusif menggunakan pendapat pribadi daripada tradisi-tradisi yang berasal dari kitab wahyu. Ciri tersebut dapat dijumpai dalam dunia Islam sejak permulaan abad-ke-3 H, yang mana menurut Gamal al-Banna, pemikiran hukum Islam berkembang seiring dengan berbagai macam ijtihad dan model-model metodologis yang dikembangkan pada masa itu. Akan tetapi, ketika pintu ijtihad tertutup, kebebasan berpikir dengan sendirinya terkunci rapat selama sepuluh abad lamanya.

Menurut Fazlur Rahman, liberalisme agama merupakan sikap kritis dalam menginterpretasikan teks agama secara kontekstual. Upaya ini diperlukan untuk menghindari dogmatisme historis yang menghalangi umat Islam dari kemajuan. Prinsip liberalisme agama apabila ditarik ke dalam konteks keislaman, prinsip-prinsipnya dapat ditemukan pada aliran ra’yu sebagaimana yang dirinci oleh Ahmad Sahal: Pertama, teks agama tidak mengatur kehidupan secara total karena yang terpenting bukanlah ketentuan teknis dalam bunyi harfiah nas yang mencakup seluruh kehidupan melainkan prinsip moralitas universal yang menjadi maqashid al-shari‘ah. Kedua, penghargaan terhadap peranan utama akal dalam menafsirkan teks dengan sendirinya menghargai kemajemukan manusia karena konteks historis yang melatarinya juga majemuk. Ketiga, nas selalu merupakan nas yang ditafsirkan. Bahkan pemahaman harfiah pun salah satu bentuk tafsir sementara tafsir selalu bersifat relatif. Pemaknaan yang dilakukan manusia tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat kontingen dan akan menghadirkan pemaknaan yang beragam.

Kebebasan dalam mengungkapkan pendapat, khususnya yang berkaitan dengan agama, adalah karakteristik liberalisme yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan kebebasan menganut bentuk-bentuk kehidupan tertentu. Toleransi terhadap berbagai macam pendapat yang berbeda tentang agama menjadi konsep yang penting, karenanya dibutuhkan landasan teologis sebagai pondasinya. Menurut Muhammad Legenhausen, upaya tersebut kemudian memunculkan pluralisme yang belakangan digunakan untuk menyerang otoritas keagamaan serta kemapanan klaim-klaim kebenaran yang ada dalam setiap agama.

Arus mainstream dalam komunitas muslim umumnya memahami pluralisme agama bukan dalam pengertian pengakuan atas kebenaran yang dibawa masing-masing agama sebagai jalan menuju Tuhan, melainkan hanya dimaknai sebagai sikap toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Selama ini konsep toleransi antarumat beragama secara etis berfungsi menjembatani berbagai macam kepentingan dari kelompok-kelompok keagamaan sekaligus merupakan nilai universal dalam menjalin ko-eksistensi dan interaksi antaragama dan budaya yang berbeda. Sampai pada tahap ini, pluralisme agama berada pada pemaknaan paling subtil, yakni sebagai respon terhadap kepercayaan, praktik, simbol, atau atribut yang berbeda dan dianggap menyimpang. Respon tersebut tetap ditunjukkan tanpa menggunakan cara koersif dan paksaan, sebaliknya membiarkan adanya kebhinekaan (diversity) dan menyesuaikan diri untuk hidup berdampingan.

Akan tetapi, pluralisme agama sering kali dikonotasikan sebagai paham relativisme. Semisal, pendapat yang dikemukakan oleh John Hick tentang dualitas kebenaran; yang bersifat absolut ketika kebenaran itu hanya berada dalam lingkaran kelompok atau orang-orang yang mempercayainya (it is in it self), dan yang bersifat relatif ketika dipandang dari luar kelompok tersebut. Sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran oleh seseorang belum tentu juga dianggap sebagai kebenaran oleh orang lain. Pada dasarnya, kebenaran hadir dalam persepsi manusia (it appears in perception) dan masing-masing individu mempunyai hak yang setara untuk meyakini sesuatu yang dianggap oleh dirinya sebagai kebenaran.

Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap agama mempunyai klaim-klaim kebenaran yang bersifat eksklusif, tak terkecuali dalam Islam, seperti klaim bahwa kebenaran adalah milik Allah semata maka hanya Islam agama yang paling benar meskipun dalam setiap periode sejarah dapat dijumpai berbagai macam agama. Klaim-klaim tersebut berasal dari pengetahuan di dalam agama yang ditransmisikan dan dilestarikan dari generasi ke generasi dengan baik oleh otoritas-otoritas keagamaan. Akan tetapi, pluralisme agama berupaya untuk menekan dan menghapus semua bentuk eksklusifitas yang terdapat di dalam agama-agama dengan jargon bahwa semua agama adalah sama, banyak jalan menuju Tuhan. Bahkan, sampai mengatakan bahwa kebenaran yang dibawa agama bersifat relatif. Hal tersebut justru merupakan suatu bentuk reduksi, yaitu pluralisme agama sebagai suatu teologi toleransi, ternyata tidak toleran terhadap sisi-sisi ekskulifitas yang sangat nyata dapat dijumpai di dalam agama-agama.

Klaim eksklusif di dalam agama yang dipandang sebagai instrumen alamiah dan sangat penting bagi identifikasi diri dan kelompok dalam rangka menentang klaim kaum lain terhadap kebenaran absolut, dalam pandangan Abdul Aziz Sachedina adalah permasalahan mendasar dalam formulasi identitas politik klasik, yakni otoritarianisme religius berdasarkan klaim penyelamatan eksklusif. Di samping itu, adanya klaim eksklusif merupakan alat efektif untuk kepentingan legitimasi dan integrasi karena klaim tersebut menjadikan anggota-anggotanya sebagai sarana praktis untuk meneguhkan identitas komunal kolektif. Identitas mendasar seperti itu dapat dijadikan pula sebagai motif–dan karenanya sangat berperan–dalam rangka menyerang orang-orang yang tidak mengikuti solidaritas kaum beriman dan untuk menanamkan hegemoni terhadap kelompok lain.

Golongan yang kontra terhadap Sekularisme, Plurarisme dan Liberarisme

    Dalam penjelasan Fatwa tersebut, MUI berpendapat bahwa umat Islam Indonesia dewasa ini tengah dihadapkan pada “perang non-fisik” yang disebut ghazwu al-fikr (perang pemikiran). Perang pemikiran ini berdampak luas terhadap ajaran, kepercayaan, dan keberagamaan umat. Adalah paham sekularisme dan liberalisme agama, dua pemikiran yang datang dari Barat, yang akhir-akhir ini telah berkembang di kalangan kelompok tertentu di Indonesia. Dua aliran pemikiran tersebut telah menyimpang dari sendi-sendi ajaran Islam dan merusak keyakinan serta pemahaman masyarakat terhadap ajaran agama Islam.

Sekularisme dan Liberalisme Agama yang telah membelokkan ajaran Islam sedemikian rupa menimbulkan keraguan umat terhadap akidah dan ibadah dalam Islam; seperti pemikiran tentang relativisme agama, penafsiran dan pengingkaran adanya hukum Allah, serta menggantikannya dengan hukum-hukum hasil pemikiran akal semata. Penafsiran agama secara bebas dan tanpa kaidah penuntun ini telah melahirkan pula paham Ibahiyah atau Permisifisme (menghalalkan segala tindakan) yang berkaitan dengan etika dan agama serta dampak lainnya. Sejalan dengan berkembangnya sekularisme dan liberalisme agama juga berkembang paham pluralisme agama. Pluralisme agama tidak lagi dimaknai adanya kemajemukan

Syukran Ma’mun berpendapat bahwa paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme bertentangan dengan Islam. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia menolak ketiga paham tersebut karena dapat merusak tradisi dan keberagamaan warga NU. Sementara itu, Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa Indonesia bukan suatu negara yang didasari oleh satu agama tertentu, dan MUI bukan institusi yang berhak menentukan apakah sesuatu hal benar atau salah, sedangkan Hasyim Muzadi menyatakan fatwa MUI itu merupakan langkah mundur bagi kehidupan antar-umat beragama. Ulil Abshar-Abdalla berpendapat bahwa fatwa MUI merupakan penyebab mundurnya gerakan keberagaman. Fatwa tersebut menganggap bahwa pluralisme membahayakan akidah atau keimanan seseorang sehingga bisa melemahkan keyakinan agama yang dipeluknya. Selain itu, fatwa tersebut menggambarkan bagaimana sikap sinisme MUI terhadap ide-ide pluralisme dan sebagainya.

Demikian pula Ali Mustafa Yaqub berpendapat bahwa liberalisme, sekularisme, pluralisme adalah paham yang sesat dan menyesatkan sehingga dapat menyebabkan umat Islam keluar dari Islam (murtad) dan kafir. Adapun orang Islam yang mengusung paham tersebut haruslah bertobat. Jika tidak bertobat berarti telah murtad dan hukuman mati wajib dijatuhkan pada seseorang yang murtad.

Pandangan Penulis

“Dari pandangan-pandangan diatas terlihat jelas bahwa penolakan dan penerimaan Liberarisme, Sekularisme, dan Pluraisme adalah pada kerangka berfikirnya. Tapi, dalam hal ini saya lebih berpihak pada yang kontra, karena manusia memilki nafsu yang kadang kala akal tidak mampu mengendalikannya, bisa saja golongan pro tidak terkendali dalam berbagai misalnya panafsiran atau pemahaman yang pada akhirnya bisa menjadi “sesat” dan merugikan banyak orang.”


Tema 2: INSEMINASI BUATAN

(Masih ada jalan menuju Roma)

Pelaksanaan inseminasi buatan ini membawa dilema besar terutama jika ditinjau dari hukum Islam. Pasangan suami istri yang ingin sekali memiliki keturunan, dapat menggunakan cara ini untuk memperoleh keturunan. Tapi, apakah cara ini adalah satu-satunya untuk mendapat keturunan? 

Jika dianalisis dari pandangan Islam bahwa inseminasi buatan/bayi tabung dengan donor sperma dan atau ovum lebih mendatangkan mudharatnya daripada maslahatnya. Maslahatnya adalah bisa membatu pasangan suami istri yang keduanya atau salah satunya mandul atau hambatan alami pada suami dan istri yang menghalangi bertemunya sel sperma dengan sel telur. Misalnya karena saluran telurnya (tuba palupi) terlalu sempit atau enjakulasinya (pancaran sperma) terlalu lemah. Dan melestarikan keturunan.

Namun, mafsadah inseminasi buatan atau bayi tabung itu jauh lebih besar, antara lain sebagai berikut:

a. Pancaran nasab, padahal Islam sangat menjaga kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab, karena ada kaitannya dengan ke-mahram-an (siapa yang halal dan siapa yang haram dikawini) dan kewarisan. Walaupun ada hal yang menghalakannya karena pertumbangan darurat.

b. Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam

c. Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi/zina, karena terjadi percampuran sperma dengan ovum tanpa perkawinan yang sah.

d. Kehadiran anak hasil inseminasi buatan bisa menjadi sumber konflik didalam rumah tangga, terutama bayi tabung dengan bantuan donor merupakan anak yang sangat  unik yang bisa berbeda sekali bentuk dan sifat-sifat fisik dan karakter/mental sianak dengan bapak ibunya.

e. Anak hasil inseminasi buatan/bayi tabung yang percampuran nasabnya terselubung dan sangat dirahasiakan donornya adalah lebih jelek daripada anak adopsi yang pada umumnya diketahui asal/nasabnya.

f. Bayi tabung lahir tanpa proses kasih sayang yang alami (natural), terutama bagi bayi tabung lewat ibu titilan yang harus menyerahkan bayinya kepada pasangan suami istri yang punya benihnya, sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan antara anak dan ibunya secara alami.

 Firman Allah:

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepadakulah kembalimu”

Secara umum, pembuahan sperma dan ovum pada semua jenis di atas dapat dikatagorikan sebagai zina. Di antara dalil yang mengharamkan pembuahan sperma dan ovum yang tidak memiliki ikatan nikah ialah Sabda Rasulullah S.a.w. yang berbunyi:

“Tidak halal (diharamkan) bagi seseoranng yang beriman kepada Allah swt dan hari kemudian air (sperma)nya menyirami tanaman orang lain (rahim wanita lain). (Hadis riwayat Abu Daut, Turmudzi dan dianggap sahih oleh Ibn Hibban, tapi dianggap Hasan oleh al-Bazzar).

Namun, jika kita perrhatikan bunyi pasal 42 UU perkawinan no. 1/1974: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” Maka tampaknya memberikan pengertian bahwa bayi tabung/anak hasil inseminasi dengan bantuan donor dapat dipandang pula sebagai anak sah, karena ia pun lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Pandangan Penulis

Untuk inseminasi buatan ini saya hanya dapat menyarankan untuk mencari jalan lain, yang tidak banyak madharatnya. Inseminasi buatan jika diperhatikan sama saja dengan kita mengadopsi anak. Tapi, mengadopsi anak yang sudah lahir berbeda dengan mengadopsi anak yang belum tentu lahir. Banyak manfaat yang bisa kita peroleh dengan mengadopsi anak baik itu yatim piatu, dan anak saudara, kita akan mendapat pahala karena mengurus anak yatim dan akan memperat tali persaudaraan dengan saudara kita yang misalnya kurang mampu dalm segi finansial, serta banyak manfaat lainnya.



Tema 3:   KLONING MANUSIA

(Gak asyik kalau manusia sama persis)


Ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang pesat tanpa batasan membuat manusia melakukan berbagai cara untuk mendapatkan hasil optimal. Pada tanggal 26 Desember 2002 dunia kedokteran dikejutkan dengan kelahiran seorang bayi perempuan sehat dan sekarang sudah menginjak pendidikan taman kanak-kanak bernama Eve merupakan hasil cloning yang berhasil setelah sekian lama percobaannya terus gagal. 

Terdapat berbagai pandangan, komentar dan pertimbangan-pertimbangan baik itu setuju dan tidak setuju terhadap masalah ini. 

Banyak ilmuan yang risau dengan risiko medik dan ketidakpastian yang berhubungan dengan cloning manusia. Salah satu kekhawatirannya adalah jika seorang bayi di clone, maka kromosomnya akan cocok dengan usia donor. Misalnya seorang anak hasil cloning yang berusia 5 tahun akan tampak seperti berumur 10 karena mendapat kromosom dari donor berusia 5 tahun, dengan disertai risiko penyakit jantung dan kanker.

Resiko buruk juga mengintai para wanita yang memutuskan mengandung bayi cloning. Menurut ahli perkembangan embryo pada mamalia, Prof. Richard Gardner, para wanita tersebut beresiko terkena satu jenis kanker yang tidak biasa dan unik pada manusia, yang menyerang rahim, yaitu choriocarcinoma (kanker korion).

“Upaya mengkloning manusia adalah tindakan tidak bertanggungjawab dan menjijikkan serta mengabaikan banyaknya bukti ilmiah dari 7 spesies mamalia yang sejauh ini sudah dikloning,” kata Rudolf Jaenisch, ahli kloning dari Massachusetts Institute of Technology.

Nah, bagaimankah Islam memandang masalah ini, apakah akan langsung melarang secara mutlak  atau membolehkannya dengan batasan-batasan tertentu?

Pada dasarnya Islam menyambut baik perkembangan Ilmu pengetahuan dan riset ilmiah. Dalam Islam, unggul dalam bidang ilmu pengetahuan demi kepentingan agama dan dunia umatnya, merupakan Fardu Kifayah bagi mereka. 

Namun disamping itu, dalam Islam  ilmu pengetahuan sama halnya dengan amal perbuatan, perekonomian, peperangan dan lainnya. Mereka harus terikat oleh nilai agama dan etika. Bagaimanapun ilmu pengetahuan itu memilki kaidah-kaidah yang menyeluruh, dan memiliki tujuan umumnya tapi jika tidak sesuai dengan agama dan etika itu akan menimbulkan berbagai kerusakan yang belum tentu dapat diperbaharui pada akhirnya.

Salah satu kerusakannya yaitu hilangnya Sunah Tanawu atau hukum variasi di alam raya. Allah menciptakan manusia dengan kaidah varisi. Tentang hal ini, cukuplah kita baca firman Allah Swt. yang artinya

27.  Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.

28.  Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

Praktik Kloning pada manusia bertentangan dengan kaidah Sunnah Tanawu. Karena praktik ini dilakukan dengan cara menciptakan duplikat-duplikat baru yang berasal dari satu orang. Dan duplikat-duplikat ini akan memunculkan problem-problem dalam kehidupan manusia, baik secara individu dan masyarakat. Coba anda bayangkan bagaiman cara seorang suami yang membedakan mana istrinya,dan bagaimana cara seorang detektif dapat menangkap penjahat sementara sidik jari, karakteristiknya sama. Jika seperti itu sendi kehidupan akan tergoncang dan rusak.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama dan para ilmuan sebenarnya masih bersifat tentative, bahwa argumen para ulama atau ilmuan yang menolak aplikasi kloning pada manusia hanya melihatnya dari satu sisi, yakni sisi implikasi praktis atau sisi applied science dari teknik kloning. Wilayah applied science yang mempunyai implikasi sosial praktis sudah barang tentu mempunyai logika tersendiri. Mereka kurang menyentuh sisi pure science (ilmu-ilmu dasar) dari teknik kloning, yang bisa berjalan terus di laboratorium baik ada larangan maupun tidak. Wilayah pure science juga punya dasar pemikiran dan logika tersendiri pula.

Selanjutnya, ada pula agamawan sekaligus ilmuan menyatakan bahwa tujuan agama menurut penuturan Imam al-Syatibi yang bersifat dharuri ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itulah maka kloning itu kita uji dari sesuai atau tidaknya dengan tujuan agama. Bila sesuai, maka tidak ada keberatannya kloning itu kita restui, tetapi bila bertentangan dengan tujuan-tujuan syara’ tentulah kita cegah agar tidak menimbulkan bencana. 

Kesimpulan yang diberikan klonasi ovum manusia itu tidak sejalan dengan tujuan agama, memelihara jiwa, akal, keturunan maupun harta, dan di beberapa aspek terlihat pertentangannya.


Pendapat Penulis

Maka, saya berpendapat bahwa cloning manusia itu haram karena bagaimanpun ilmu pengetahuan jika tidak sesuai dengan agama dan etika maka itu akan mengalami berbagai masalah yang pada akhirnya tidak dapat terselesaikan. Apa jadinya jika manusia semua sama, tidak akan ada perbedaan diantara kita.

Sekuat atau sepintar apapun manusia mencoba menciptakan manusia lain tidak akan sesempurna ciptaan Allah Swt. karena Allah Swt. Maha sempurna atas segala sesuatu.  


DAFTAR PUSTAKA


Al-Qaradhawi, Yusuf. Hadayatul Islam Fatawi Mashirah. Kuwait: Darul Kalam. 

Penerjemah Abdul Nayyie, dkk.. Fatwa KOntemporer . jilid 3. Jakarta:Gema Insani Press. 2002. 

https://abraham4544.wordpress.com/umum/hukum-kloning-dalam-perspektif-agama-islam/

http://mitaunair-fk12.web.unair.ac.id/artikel_detail-70488-Kesehatan%20Kita-KLONING%20MANUSIA,%20MENYERAMKAN%20...html

http://syariffathulhamdi.blogspot.com/2012/02/inseminasi-buatan-pada-manusia-menurut.html

http://aul-al-ghifary.blogspot.com/2013/10/hukum-bayi-tabung-inseminasi-buatan-menurut-islam.htmlhttp://filsafat.kompasiana.com/2014/02/03/sekularisme-liberalisme-dan-pluralisme-630750.html


Terima kasih untuk anda yang sudah menyempakan mampir di artikel ini, jangan lupa bagikan link ini pada teman sesama profesi kita.


Salam hangat dari saya, ADMIN RGI

Semoga bermanfaat.


Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Masahil Fiqih - Sekularime,Plurarime dan Liberarisme, Inseminasi Buatan, dan Kloning Manusia

Terkini

Iklan