Iklan

terkini

Post Power Syndrome

Kamis, 11 Maret 2021, Maret 11, 2021 WIB Last Updated 2021-03-19T01:41:48Z

www.rumahguru.info

Post Power Syndrome


    Post power syndrome banyak dialami oleh mereka yang baru saja menjalani masa pensiun. Arti dari syndrome itu adalah kumpulan gejala. Power adalah kekuatan. Jadi, Post Power syndrome adalah gejala-gejala pasca/ setelah kekuasaan. [1]Lebih jauh Kartini Kartono menjelaskan bahwa Post Power Syndrome adalah gejala yang terjadi dimana penderita hidup dalam bayang-bayang masa lalunya (karir, kecantikan, kecerdasannya, dan hal lain) dan seakan-akan tidak bisa memandang realita saat ini. [2]


    Post Power Syndrome atau syndrome pasca kekuasaan adalah gejala yang berupa gangguan perasaan, perilaku somatic serta muncul kelhan-keluhan psikososial dalam bentuk ucapan maupun sikap dan perilaku suka memberi kritikan, perasaan curiga, merasa diperlakukan tidak adil, tertekan, putus asa dan suka ngomel-ngomel yang dilakukan secara berulang, merupakan beberapa karakteristik yang ditunjukan oleh individu yang mengalami post power syndrome. Sindrome ini biasanya dialami oleh pegawai pemerintah yang telah pensiun atau mengalami perubahan dari pekerjaan (Prawitasari, 2002:49).[3]


            Gejala dilihat 3 ranah yaitu [4]

1.Fisik misalnya tampak kuyu, terlihatlebihtua, tubuhlebihlemah, sakit-sakitan.

2.Emosi mudahtersinggung, pemurung, senang menarik diri dari pergaulan, atau sebaliknya cepat marah untuk hal-hal kecil, tak suka disaingi dan taksukadibantah.

3. Perilaku menjadi pendiam, pemalu, atau justru senang berbicara mengenai kehebatan dirinya di masa lalu, senang menyerang pendapat orang, mencela, mengkritik, tak mau kalah, dan menunjukkan kemarahan baik dirumah maupun di tempat umum.


Seseorang yang mengalami post power syndrome biasanya dapat diketahui dari gejala gejala yang dialaminya. Kartono (2000: 234 ) membagi gejala post power syndrome menjadi dua yaitu: [5]

1.      Gejala Fisik

Gejala fisik yang sering muncul yaitu layu, sayu, lemas, tidak bergairah dan mudah sakit sakitan

2.      Gejala Psikis

Gejala psikis yang sering tampil antara lain ialah apatis, depresi, semuanya ”serba salah”; tidak pernah merasa puas dan berputus asa, atau tanda tanda sebaliknya, yaitu menjadi mudah ribut, tidak toleran, cepat tersinggung, gelisah, gemas, eksplosif mudah meledak meledak, agresif dan suka menyerang baik dengan kata kata atau ucapan ucapan maupun dengan benda benda dan lain sebagainya. Bahkan tidak jarang menjadi beringas setengah sadar.


Seniati dkk, (2006: 18) membagi gejala gejala post power syndrome menjadi tiga tipe yaitu: [6]

1.      Gejala fisik

Tampak lebih tua dibandingkan pada waktu bekerja, rambutnya menjadi putih semua, berkeriput, pemurung, badannya menjadi lemah dan sakit sakitan

2.      Gejala Psikis

Merasa cepat tersinggung, merasa tidak berharga, menarik diri dari lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi dan lain sebagainya

3.      Gejala Perilaku

Umumnya malu bertemu orang lain, suka melakukan kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat lain.


Dinsi (2006), membagi gejala-gejala post power syndrome ke dalam tiga tipe, yaitu: [7]

1.      Gejala Fisik yaitu menjadi jauh lebih cepat tua tampaknya dibandingkan pada waktu dia menjabat. Rambutnya menjadi putih semua, berkeriput, menjadi pemurung, sakit-sakitan, dan tubuhnya menjadi lemah, tidak bergairah.

2.      Gejala Emosi yaitu cepat tersinggung, merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi dan lain sebagainya.

3.      Gejala Perilaku, yaitu umumnya malu bertemu orang lain, lebih mudah melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat yang lain.


Greist dan Jefferson (dalam Maramis, 1990:766) menyatakan secara garis besar gejala-gejala post power syndrome adalah depresi, kompensasi yang berlebihan serta irritabilitas. Depresi dalam post power syndrome adalah gangguan yang berlangsung cukup lama disertai gejalagejala atau tanda-tanda spesifik yang secara substansial menganggu kewajaran sikap dan tindakan seseorang atau menyebabkan kesedihan yang amat dalam. Kehilangan jabatan berarti perubahan posisi dari yang kuat dan punya kuasa kini merasa lemah dan kehilangan kuasa. Perubahan ini mengakibatkan perubahan alam pikir (rasio) dan alam perasaan (afeksi) pada diri yang bersangkutan. Keluhan yang bersifat fisik dan kejiwaan (cemas atau depresi) itu sifatnya ke dalam, tertutup dan tidak terbuka, maka akan terlihat pula keluhan psikososial dalam bentuk ucapan atau perilaku antara lain suka mengkritik, merasa dirinya benar, prasangka buruk curiga, mencela, skeptis, merasa diperlakukan tidak adil, kecewa, tidak puas, suka menggerutu dan di ulang-ulang, membesar-besarkan masalah (Hawari, 1997:59). [8]



Beberapa karakteristik gejala post power syndrome antara lain suasana hati yang buruk terlihat dari wajah selalu murung dan mudah merasa cemas, merasa harga dirinya rendah (self-esteem rendah), pesimis,

menurunnya minat dalam segala hal, perilaku yang nampak seperti tubuh lunglai (Maramis, 1990:766).[9]


Gejala post power syndrome memang merupakan gejala umum yang dialami oleh individu usia lanjut. Tujuan utama dari aktifitas yang ditekuni oleh individu itu merupakan bagian dari perwujudan dari perilaku kompensasi. Upaya untuk mengisi kekosongan batin yang sudah kehilangan dukungan nyata, hingga timbul kepuasan diri dan ditujukan oleh orang lain “bahwa aku masih seperti yang dulu”.[10]

Beberapa tanda-tanda yang dapat dijadikan indikasi sebagai gejala pps antara lain sebagai berikut,

a.       Adanya perubahan fisik secara drastis

Stres yang timbul akibat keputusan pensiun dapat memcu penuaan secara cepat. Saat memasuki masa pensiun, anda dapat membandingkan fisik anda dengan rekan anda yang lain yang beurmur sama. jika dalam jangka waktu cepat anda berubah terlihat menjadi lebih tua dari rekan anda, bisa jadi hal itu gejala pps. Banyak uban dan kerutan pada wajah secara tiba-tiba merupakan salah satu ciri perubahan yang alami.[11]

b.      Adanya menjadi Pemurung

Orang yang memiliki pps akan merasa jenuh karena tidak bekerja. Selain itu, ia akan haus pengakuan orang lain terdap kelebihan dan keunggulan atas jabatan yang dimilikinya. Hal ini tentu akan memicu dirinya untuk selalu berfikir mencari cara agar bisa beraktivitas seperti dulu dan mengembalikan semua hal yang dimilikinya.  jika mengalami hal ini, anda akan menjadi murung. [12]

c.       Anda menjadi cepat emosi dan malu bertemu orang lain

Orang yang mengalami pps akan menganggap dirinya tidak berguna lagi. berbeda saat masih kerja, dengan jabtannya ia dapat melakukan sesuatu terhadap perusahaannya dan memrintah bawahannya. Saat pensiun anda tidak dapat memerintah bawahan anda lagi karena mereka bukan bawahan anda lagi. Hal ini memicu kemarahan karena anda merasa tidak dihargai lagi. Selain itu,, kebiasaan itu membuat nad amenjadi mudah marah. Hal ini karena setelah pensiun anda tidak dituruti lagi oleh orang lain.

jabatan dan kekuasaan semasa bekerja tentu saja menjadi sebuah kebanggan pribadi anda. Terlebih lagi jika anda adalah orang terpandang karena abatan dna lingkungan anda. Jika tidak dapat mengendalikan itu akan muncul perasaan minder dan malu terhadap orang lain. Akibatnya, anda kana menarik diri dari lingkungan pergaulan.[13]

d.      Anda mengalami penurunan kesehatan

Penuruanan kesehatan in sebenarnya merupakan reaksi jasmaniah atas beban pikiran dna psikologis karena pps. Menurunnya kesehatan membaut anda rentan terhadap penyakit. [14]

            Menurut Turner dan Helms terdpat beberapa faktor internal penyebab berkembangnya PPS pada diri seseorang karena kehilangan jabatan yaitu hilangnya harga diri karena hilangnya jabatan, kehilangan hubungan dengan kelompok eksekutif, kehilangan perasaan berarti dalma kelompok tertentu, kehilangan orientasi kerja. Keadaan tersebut mudah sekali menimbulkan berbagai gangguan perasaan seperti ketidakbahagiaan, stress dan depresi.[15]

 

 

 

Stress[16]

Peristiwa yang memberikan perubahan-perubahan dalam kehidupan yang berpotensi menimbulkan stresdalam kehidupan disebabkan karena adanya berbagai perubahan yang membutuhkan usaha penyesuain diri individu.  Menurut Cox dan McKay Pengertian stres dalam dilihat berdsarkan tiga pendekatan, yiatu:

a.       Engineering approach atau the stimulus base yaitu stress dilihat sebagai stimulus contoh kehilangan pekerjaan.

b.      Medico-Psychological atau the respone-based dimana stress dilihat sebagai respon yang umum terhadap stimulus yang membahayakan. respon ada dua komponen yaitu psikologi (kecewa, sedih, marah dll) dan fisiologis (jantung melemah, tekanan darah meningkat dll) semaunya karena keputusan terhadap pensiun

c.       Psychological approach atau interactional and appraisal theories dimana stress dilihat sebagai transaksi antara individu dan lingkungannya. Contoh marah terhadap lingkungan atau mendekatkan diri kepada Tuhan menghadapi masa pensiun.

Depresi[17]

Depresi merupakan keadaan kemurungan (sedih, patah semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak puas, menurunya kegiatan, dnapesimis menghadapi masa yang akan datang. Menurut American Assocoation for Geriatric Psychiatry, AAGP, 1996 sindroma depresi paling sedikit selama dua minggu individu memperlihatkan kesedihan yang sangat berat dankehilanagn minat dna kesenangan lainnya. Somtom tersebut meliputi perubahan berat badan, kesulitan tidur, merasa tidak berharga atau merasa tidak pantas, penurunan daya ingat, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, dan memiliki pikiran untuk mati dna bunuh diri.  

            Episode depresif[18]

Gejala utama (pada derat ringan, sedang, dan berat)

-afektif depresif

-khilangan minat dan kegembiraan

-berkurangnya energi yang menuju meningkatknya keadaan mudah lelah

Gejala lainnya

a.       konsentrasi dan perhatian bekurang

b.      harga diri dan kepercaya diri berkurang

c.       gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

d.      pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

e.       gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

f.       nafsu makan berkurang



[1] RN Istiqomah, digilib.uinsby.ac.id/9984/10/BAB%20II.pdf, 2012. hlm. 2 diakses (21 April 2016)

[2] ibid.,hlm.3

[3] Ibid.,

[4] Siti Irene astute D, staff.uny.ac.id/sites/.../1_ILUSTRASI%20PPS.pdf, 2010, hlm. 9. diakses (21 april 2016)

[5] Fandy Ahmad, Pengaruh Optimisme Menghadapi masa pensiun terhadap post power syndrome pada anggota badan pembina pensiunan pegawai (bp3) pelindo semarang (SKRIPSI), Semarang,  2013. hlm. 31.

[6] Ibid., hlm 32.

[7] Yuli Handayani, Post Power Syndrome pada Pegawai Negeri Sipil yang Mengalami Masa Pensiun,  Gunadarma, 2012. hlm. 3.

[8] RN Istiqomah, digilib.uinsby.ac.id/9984/10/BAB%20II.pdf, 2012. hlm. 9 diakses (21 April 2016)

[9] Ibid., 9

[10] ibid., hlm. 10.

[11] Joanes Wijdjajanto, PHK dan Pensiun Siapa Takut?, Jakarta: Penerbar swadaya, 2009. hlm.52

[12] ibid., hlm.53

[13] ibid., hlm.54

[14] ibid., hlm.55

[15] The First LSPR Comuniction Research Conference 2010. Beyond Border: Communication Modernity  & History, London school. Public Realition Jakarta. hlm. 299

[16] Ibid., hlm. 299

[17] ibid., hlm. 300

[18] Rusdi Maslim, Diagnos Gg, Jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III dan DSM-5, Jakarta: bagian ilmu kedokteran FK-Unika Atmaja. 2013. hlm 64.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Post Power Syndrome

Terkini

Iklan